BLANTERORBITv102

    Jurnal 14 Arief Natakusumah : "ANTI ARSENAL"

    Jumat, 23 September 2011

    Insiden mengerikan Aaron Ramsey menyisakan kegetiran di setiap mulut fans Arsenal di seluruh dunia khususnya, dan sebagian penggemar The Game of World (English Premier League Soccer). Pada Februari 2010, mulai dari anak-anak, wanita, siapapun, kembali jadi saksi sebuah fenomena menjijikkan dari The English Football, kompetisi sepak bola paling banyak ditonton di bumi. Tapi ini ada hikmahnya. Kejadian itu kian menguak tabir dan sisi gelap neo-xenophobia, propaganda public enemy, anti-sepak bola, hingga anti-Arsenal.

    Sebuah tragedi di Stadion Britannia, Stoke, 27 Februari 2010 menodainya. Ditebas Ryan Shawcross, kaki kanan Ramsey patah dua! Ini jauh lebih parah dari insiden 23 Februari 2008 usai Eduardo Da Silva dibabat Martin Taylor di Birmingham, serta peristiwa 1 Mei 2006 yang didera Abou Vassiriky Diaby lantaran diterjang gelandang Sunderland, Daniel Smith. Kecuali di Inggris - ini aneh bin ajaib - respons dan cercaan kasus itu justru ramai di belahan lain. Dari yang kritis hingga emosional.

    Tak kenal, bersaudara pun bukan tapi emosi menyatu. Sayangnya ini bukan kisah keindahan dari sepak bola. Dari seseorang bernama Kushtri di Makedonia. "Itu adalah gambaran menakutkan. Demi kebaikan dan masa depan penggemar muda sepak bola, demi anak-anak, pihak berwenang harus cepat mengatasi kejadian itu."

    Peeyush di India ikut turun rembug. "EPL semakin tidak jelas. Buat apa menonton kebrutalan dan menyaksikan pemain yang terluka selama 90 menit? Kami ingin sepak bola...."

    Dari tanah Afrika, muncul umpatan dan ungkapan melo. "Jika media massa di Inggris tak menghentikan kemunafikannya, tim nasional anda tidak akan pernah memenangi apapun di dunia ini. Tuhan ada di sana, dan Dia mengawasi. Sepak bola Inggris memalukan!" sumpah Baafour Sunyani dari Ghana. Juga Tidjani Shakiru dari Nigeria. "Aku doakan Ramsey semoga lekas sembuh. Inya Allah. Amin!". Situs resmi Arsenal pun kebanjiran ratusan doa dan harapan sembuh dari penjuru dunia untuk Aaron Ramsey.

    Ibarat mobil yang patah as rodanya, performa pemain yang pernah patah kaki tak akan bisa seperti sedia kala lagi. Cedera yang diderita Ramsey teramat buruk. Tidak ada jaminan ia seperti Aaron Ramsey yang sediakala kita lihat. Belum ada garansi dia tidak cacat, bisa menendang bola, bahkan berjalan normal. Di usia 19, haruskah impiannya berakhir? Sepak bola bisa menjadi sesuatu yang kejam, permainan beradab yang kembali biadab. "Di dunia ini, tak ada klub yang semenderita Arsenal," ratap Arsene Wenger.

    Kenapa harus selalu Arsenal? Benarkah klub bola terkaya ketiga di dunia ini paling rentan dijadikan target sistematis? Arsenal sarat dengan internasionalisasi pada kultur, mazhab permainan, pola transfer pemain, sampai pendekatan bisnisnya. Itukah bottom-line-nya? Anti-Arsenalisme seolah-olah jadi mix-sense bila dipadu dengan aneka isu yang menerpa mereka seperti French-connections, anti dengan pola life-style Inggris, mengharamkan WAG's, hingga sarangnya keangkuhan yang menghina permainan bola panjang.

    Semuanya bermuara pada satu anti-tesis : Klub ikon kota dunia dan simbol kerajaan Britannia Raya itu adalah biangnya. Arsenal satu-satunya klub yang dicintai Ratu Inggris, tapi dimiliki taipan Texas dan Uzbekistan. Klub dengan 27 juta penggemar sedunia itu digerakkan dua orang non-Inggris. Rule of the game-nya orang Prancis, rule of business-nya dari Amerika. Tragedi Ramsey, Eduardo, dan Diaby, ketiganya non-Inggris, dianggap sepele seperti halnya kelakuan bejat kapten nasional Three Lions, John Terry.

    Memasuki 20 tahun, hampir dua dekade, pengaruh asing EPL mencapai puncaknya. Kini sepak bola Inggris makin inferior, merasa aneh jadi tuan rumah dan tak mendapat tempat dalam permainan modern. Tak punya pelatih kredibel dan pemain berwawasan luas selain David Beckham. Memilih warga Italia sebagai pelatih nasional merupakan puncak frustasi. Di kala urusan belum kelar inilah, adagium usang sepak bola paling sejati itu physical game. English game sukses diembuskan barisan konservatif.

    Dalam konteks teknik lawan fisik, sepak bola Inggris penyanjung yang terakhir. Otot jadi prioritas dibanding otak. Kolot dan konservatif adalah karakter asli seperti melihat rumah, potongan rambut, atau bentuk taksi mereka. Namun ada satu yang dikhianati : sepak bola. Padahal tanpa orang asing; pebisnis, manajer atau pemain, EPL akan kembali ke zaman Hillsborough! Tanpa 'ambisi asing', percayalah, semakin banyak muncul Wimbeldon baru, Leeds United baru, Portsmouth baru, bahkan Nottingham Forest baru yang pernah merasakan jadi raja Eropa namun kini tenggelam di kasta rendah Liga Inggris.

    Sesuatu yang asing memang harus ditendang. Ini cara paling ampuh untuk menyetop mereka, dan ini mutlak jadi opini publik. Begitu pula pada Arsenal. Stop dan matikan segera kreativitas mereka dari pandangan mata. Caranya? Lawanlah secara masif dengan permainan fisik (overlay physical game). Bahkan beberapa klub-klub gurem mengkombinasikan kekuatan otot dengan strategi yang lebih koheren, yakni menekel keras dan menjatuhkan dengan segala cara; mulai dari memiting tubuh sampai menginjak kaki.

    "Dengan segala hormat, masih ada banyak tim yang tidak mampu menandingi keunggulan teknis Arsenal. Mereka tak akan pernah bisa mengalahkan Arsenal dengan cara biasa kecuali yang luar biasa, cara seperti di atas. Maka hanya kepada wasitlah semuanya itu bergantung. Pelanggaran, hukuman, atau, menutup mata alias dibiarkan saja?" kata Patrick Barclay dari The Times, yang tak menutup mata adanya sebuah konspirasi kultural yang dibiarkan demi untuk menghentikan hegemoni The Arsenal Way.

    Cara menekling dalam sepak bola Inggris sudah di luar batas. Bangsa lain banyak yang mengeluhkannya. Ada fenomena kebiadaban dan hukum alam yang sakit. Ini harus serius ditangani komisi wasit dan FA, demi kehormatan dan kredibilitas EPL sendiri, atau jika mereka memang mau lahir korban yang lebih parah. Keadilan harus ditegakkan. Pihak berwenang mesti bikin klasifikasi dan kategori mereka yang memakai taktik merusak, yang punya elemen biadab, setengah biadab, dan yang bermain secara beradab.

    Siapa-siapa saja mereka? Dari banyak data-statistik, klub yang lazim disebut 'Delapan Besar' praktis tanpa masalah. Ini kaum paling terhormat lantaran punya kekuatan nilai dan falsafah dari sepak bolanya. Motif dan aplikasi permainan fisik dan strategi mereka semata untuk memenangi persaingan, keunggulan, serta menghibur penonton. Implementasi dan level ini berdiri di Fulham, Burnley, Wigan, West Ham, Wolverhampton, dan kini Bolton.

    Roy Hodgson, Brian Lewis, Roberto Martinez, Avram Grant, Gianfranco Zola, atau Mick McCarthy - terlepas Inggris atau bukan, mereka lebih tepat disebut memadukan akal sehat, ambisi dan kepuasan dengan moralitas dan dedikasi tinggi demi kehormatan permainannya. Setidaknya ingin. Persepsi, pola pikir, serta wawasan mereka tak kalah dengan para kolega di Arsenal, Aston Villa, Chelsea, Everton, Liverpool, Manchester City, Manchester United, dan Tottenham Hotspur.

    Tapi bila sudah sampai di Sunderland, Birmingham, Blackburn, Hull City, dan Stoke, maka adu debat dan tarik urat akan mencuat. Tiga terakhir adalah kelompok paling berbahaya di EPL, yang berisi komplotan rahasia pro-xenophobia ala Mark Hughes. Terutama tiga Englishmen seperti Sam Allardyce, Phil Brown, dan Tony Pulis. Mereka amat senang dan bangga disebut penjaga 'martabat' sepak bola Inggris, dalam dan di luar lapangan. Tapi, maaf, mereka lebih pantas disebut sebagai para promotor anti sepak bola.

    Mereka inferior dan memiliki pola pikir premanisme di sepak bola. Kepintaran bisa dilindas oleh kekuatan. Untuk menutupi cap bodoh atau ketidakberdayaan, kekerasan fisik ala Neanderthal jadi satu-satunya jalan. Mereka mengenal baik istilah lokal grit and steel, kerikil dan baja. Ini upaya putus asa paling relevan, paling kongkrit agar tetap hidup dalam derasnya perubahan lingkungan globalisasi sepak bola. Mereka amat komitmen pada kekuatan fisik sebab sepak bola adalah full body contact.

    Meski dibayangi ceroboh atau bahaya, fisik selalu menjadi bagian sekaligus paket wajib dalam sepak bola. Media-media di Inggris secara klise sering bilang 'untuk sukses anda perlu pemain Inggris sebagai pilar permainan'. Prototipe-nya bejibun. John Terry, Matthew Upson atau Rio Ferdinand di belakang, Frank Lampard, Steven Gerrard, atau James Milner di tengah. Lalu Wayne Rooney, Jermaine Defoe, atau Gabriel Agbonlahor di depan. Semua ini adalah part and parcel di klubnya masing-masing.

    Mereka sigap, ganas, dan punya otot kuat. Dalam konteks sepak bola Inggris, mereka dianggap sebagai core dan backbone sebuah tim. Namun ada keuntungan terbesar. Tim yang memiliki inti dan tulang punggung pemain-pemain top lokal, pasti lebih disegani kalau bukan ditakuti lawan, terutama oleh klub-klub papan bawah yang nuansa mainnya berdasarkan hukum rimba. Dan yakinlah, anda dalam masalah besar jika mengabaikan, bahkan jika tidak memilikinya. Jelas sudah, kesalahan besar Arsenal.

    Meski pendekatan itu selalu ditentang Arsene Wenger misalnya, tapi ujung-ujungnya nonsens. Setelah melihat kesalahan dan kekalahan, seorang pengamat atau redaktur segera menghancurkan wibawa dan kredibilitas seorang manajer tim. Bagi Arsenal, musim 2009-2010 silam menjadi pertaruhan hebat. Awal Agustus 2009, berbekal teori core and backbone tadi, 90 persen media lokal, 95 persen pemirsa, serta 99 persen kolomnis, amat yakin bahkan di saat liga belum bergulir bahwa Arsenal akan terlempar dari empat besar!

    Wenger sama sekali tak percaya sebab ia selalu yakin The Arsenal Way akan mengatasi format kuno physical game. Belakangan ia terlihat makin anti-pemain Inggris. Mengapa? "Sepak bola tak ditentukan paspor, tapi oleh kualitas."

    Ada lagi. "Saya mencari pemain yang berahlak baik." Atau, "saya tak membeli bintang, tapi mencetak dan menjual bintang." Ucapan inilah yang bikin patah hati Shaun Wright-Phillips dan Gareth Barry. Ada yang mengartikan ini dengan 'pemain asal Inggris tidak bermutu dan brengsek'.

    Selama Wenger mempertahankan prinsipnya, reaksi perlawanan dan kontra produktif akan terus terjadi. Termasuk dalam perang pola pikir dan imbas kepada premanisme permainan. Sentimen nasional atau persoalan pribadi kadang dibawa-bawa. Meski kini dia tengah bikin pasukan Inggris di masa depan, lewat Theo Walcott, Kieran Gibbs, Jack Wilshere, Craig Eastmond, atau Jay Emmanuel-Thomas. Toh tetap tidak menyelamatkan reputasinya. Luka terlalu dalam, tiada ruang untuk pemulihan.

    (sumber : BolaVaganza No. 102 Edisi April 2010) Note: Artikel Arief Natakusumah ini saya copy dari note fb teman saya yang sama-sama menyukai dunia sepakbola, terimakasih kawan Bobbie Trizna Anandika Rendra !!!

    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      BalasHapus